oleh Evira Novitasari
04 Jul 2024
dibaca 4 menit
IMG_0693.jpg
hukumonline linkedinhukumonline twitterhukumonline whatsapphukumonline facebook
Peran Penting Pembangunan Berkelanjutan dalam Penerapan Manajemen Risiko Green Economy
Ada tantangan dan risiko yang harus diantisipasi dalam green economy, termasuk perubahan kebijakan, risiko sosial, serta potensi hambatan lain.

Dalam beberapa dekade terakhir, konsep pembangunan berkelanjutan semakin penting sebagai bagian dari upaya global dalam menciptakan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, perlindungan, dan kesejahteraan sosial. Salah satu konsep terkait dengan pembangunan berkelanjutan yaitu ekonomi hijau (green economy). 
 

Penerapan konsep green economy tidak terlepas dari tantangan dan risiko, seperti bencana alam, perubahan kebijakan, risiko sosial, dan potensi hambatan lain. Sebagai langkah preventif atas tantangan dan risiko yang ada, pemerintah menerbitkan regulasi untuk mengidentifikasi, menilai, mengelola, dan mengendalikan peristiwa atau situasi potensial dalam menerapkan manajemen risiko yang memperhatikan lingkungan melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yaitu Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2023 tentang Manajemen Risiko.
 

Untuk membahas integrasi prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dalam kebijakan manajemen risiko pada green economy, Hukumonline menyelenggarakan forum diskusi Hukumonline Executive Roundtable Dinner dengan tema Advancing Sustainable Development to Improve Risk Management in the Green Economy, pada Rabu (19/06).

 

Agenda forum diskusi ini dihadiri oleh Executive Committee Member Indonesia Business Council for Sustainable Development (IBCSD) sekaligus Chief Sustainability Officer Asia Pulp & Paper (APP) Group Elim Stritaba, dan Kepala Bagian Rumpun Ilmu Hayat Pertanian (RIHP) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Hamdan Syukri Batubara.
 

Penerapan Sustainability Development in Green Economy oleh Pihak Swasta 

Elim Sritaba membuka diskusi dengan memperkenalkan Asia Pulp & Paper (APP) Group sebagai perusahaan holding company multinasional dalam produksi kertas dan pulp yang berdiri pada tahun 1990-an. 

 

Dalam menjalankan aktivitas bisnisnya, APP Group menyatakan telah memakai bahan baku yang tidak berasal dari kekayaan alam, dan memperhatikan Environmental, Social, and Governance (ESG) serta membangun prorgam Sustainability Roadmap Vision (SRV) 2030 untuk melindungi hutan, masyarakat, keanekaragaman hayati, sekaligus mencapai netralitas karbon di seluruh lini operasional.

 

“APP Group menargetkan pada SRV 2030, menjadi bisnis yang low carbon atau melakukan penurunan sebanyak 30% karbon emisi dan melindungi kawasan hutan lindung,” ujar Elim.

 

Lebih lanjut, Elim mengungkapkan bahwa penerapan sustainability governance pada APP Group dimulai dengan program Commitment Sustainability, sebagai kebijakan yang melibatkan Sustainability Committee selaku Board dalam menentukan visi, misi, serta strategi tata kelola keberlanjutan pada APP Group. 

 

Hal tersebut kemudian diturunkan dalam level pendekatan organisasional dan prosedural melalui lima prinsip, yaitu lingkungan, sosial, tata kelola perusahaan, transparansi, serta keterlibatan pemangku kepentingan.

 

Kelimanya menghadirkan strategi implementasi dalam bentuk kebijakan-kebijakan seperti Forest Conservation Policy, Fibre Procurement and Processing Policy, Fire Prevention and Management Policy, Governance Policy, dan sebagainya. Berbagai kebijakan tersebut seluruhnya bertujuan mencapai target SRV 2030 yang ditetapkan oleh APP Group.

 

Sebagai wujud transparansi APP Group terhadap penerapan sustainability development perusahaa, APP Group menerbitkan Sustainability Dashboard dan Annual Sustainability Reports sustainability sesuai standar Global Reporting Initiative (GRI).

 

Elim menambahkan bahwa penerapan kebijakan pada SRV 2030 APP Group tidak hanya tercantum dalam kebijakan, namun juga telah diturunkan pada level implementasi pada sisi risiko dan mitigasi. Salah satu contohnya yaitu laporan dalam CDP Score Report, program ini mengevaluasi dan mengukur bagaimana kinerja perusahaan dalam sisi water security, forest, dan climate change. 

 

Penerapan Risk Management pada KLHK

Pada kesempatan yang sama, Kepala Bagian Rumpun Ilmu Hayat Pertanian (RIHP) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Hamdan Syukri Batubara melanjutkan diskusi dengan memaparkan overview penerapan manajemen risiko di KLHK. 

 

Membahas milestone manajemen risiko di KLHK, Hamdan mengungkapkan bahwa manajemen risiko bermula di tahun 2008 dengan inisiasi dari Kementerian BPKP RI. Berkaca dari penerapan di Kementerian BPKP RI, Kementerian LHK dipacu untuk segera menerapkan manajemen risiko melalui kebijakan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP).

 

Selanjutnya, SPIP diatur oleh KLHK sedemikian rupa agar sistem ini dapat diintegrasikan kepada para pelaku usaha dan juga NGO demi mencapai pembangunan berkelanjutan. Pada tahun 2015, KLHK melakukan akselerasi yang membuat seluruh unit KLHK harus mematuhi penerapan sistem manajemen risiko tersebut.

 

Selanjutnya, sejak 2015 hingga saat ini, KLHK gencar dalam menanamkan budaya manajemen risiko. 

 

“Proses menanamkan budaya ini tentu tidak mudah, khususnya dalam konteks memberikan edukasi. Hingga saat ini KLHK senantiasa menggaungkan budaya manajemen risiko secara keras, yang diibaratkan pintu yang didobrak dengan keras, bahwa tidak hanya sekedar mengedukasi namun juga berani dalam mengambil tindakan lebih lanjut bagi pelaku usaha yang lalai dengan manajemen risiko” pungkasnya.

 

Pertumbuhan penduduk yang terus bertambah pun berimplikasi terhadap green economy, yaitu dampak ekologi terhadap lingkungan, penularan penyakit dan ekstraksi sumber daya dari lingkungan penggunaan air tawar, dan sebagainya. 

 

“Meningkatkan awareness dan membentuk komitmen terhadap green economy menjadi suatu hal yang fundamental. Jika tidak, dikhawatirkan ke depannya tiidak ada yang peduli pada masyarakat yang tinggal di sekitar hutan,” ucap Hamdan Syukri Batubara. 

 

Sebagai wujud Kementerian LHK RI dalam menerapkan manajemen risiko, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.5 Tahun 2023 mengenai penerapan manajemen risiko. Peraturan tersebut merupakan upaya kolaboratif dengan mengintegrasikan prinsip keberlanjutan dan manajemen risiko yang bisa menciptakan ekonomi hijau dan berkelanjutan.
 

Sebagai penutup, Hamdan menambahkan, terkait pentingnya kolaborasi. Bukan sekadar melibatkan pelaku usaha namun juga meningkatkan kesadaran pada masing-masing individu, mengingat produksi emisi yang tidak kalah penting dampaknya kepada lingkungan. Hamdan menyebut saat ini terdapat 7,7 ton emisi yang dihasilkan per kapita.

 

“Kembali lagi kepada kesadaran masing-masing individu, bahwa green economy yang akan menyelamatkan planet tidak hanya dilakukan oleh satu atau dua orang saja, hanya dari pemerintah atau pelaku usaha saja, tetapi juga dari kita semua,” ujarnya.

 

Melihat pentingnya penerapan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dalam kebijakan manajemen risiko pada green economy, penting bagi perusahaan untuk memastikan setiap aktivitas bisnisnya telah patuh terhadap peraturan perundang-undangan. 

 

Oleh karena itu, kini saatnya menjadi yang terdepan dalam kepatuhan hukum! Dengan Regulatory Compliance System (RCS), platform yang senantiasa memantau pembaruan peraturan dengan teknologi terkini dan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI), Anda tak perlu khawatir akan adanya kewajiban hukum yang terlewat.

 

Dapatkan kesempatan FREE TRIAL RCS dengan klik di sini. RCS siap mendukung setiap aktivitas pemantauan dan pemenuhan kepatuhan hukum perusahaan Anda.


 

Bagikan artikel ini
hukumonline linkedinhukumonline twitterhukumonline instagramhukumonline facebook
Artikel dan Insight Terkini
Kami memahami bisnis dan tantangan Anda.
Dapatkan solusi terbaik bagi kepatuhan hukum perusahaan Anda sekarang.
Hubungi Kami
whatsapp contact