businessman-giving-bribe-money-envelope-partner (1) - Edited.png
oleh Diara Rizqika Putri

Hancur Reputasi Hingga Dikenakan Sanksi Pidana, Sulitnya Lembaga Jasa Keuangan Untuk Mematuhi Peraturan Anti Pencucian Uang, Pencegahan Pendanaan Terorisme, dan KKN di Indonesia

Dewasa ini, kita semakin menyadari Lembaga Jasa Keuangan (LJK) rentan terhadap risiko tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme.

Dewasa ini, kita semakin menyadari betapa pentingnya eksistensi dari Lembaga Jasa Keuangan (“LJK”) dalam kehidupan masyarakat. Bagaimana tidak, berbagai aspek kehidupan masyarakat kini mengandalkan jasa dari LJK, mulai dari bank, asuransi, lembaga pembiayaan, dana pensiun, pergadaian, dan lain-lain.

Akan tetapi dalam melaksanakan bisnisnya sehari-hari, LJK tidak luput dari risiko tindak pidana pencucian uang, pendanaan terorisme, korupsi, kolusi, dan nepotisme (“TPPU, TPPT, dan KKN”). Tak jarang, LJK dilibatkan oleh pelaku tindak pidana sebagai sarana untuk mengirimkan, menerima, dan/atau menyimpan kekayaan hasil tindak pidana. Bahkan, LJK dinilai menjadi suplai utama dalam rantai tindak pidana korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (“KPK”) dan keterlibatannya dapat berakibat fatal pada hilangnya kepercayaan publik.

Mengingat TPPU, TPPT, dan KKN merupakan tindak pidana yang kompleks dan dapat berdampak besar kepada masyarakat, pemerintah mengatur hal tersebut secara ketat melalui serangkaian peraturan perundang-undangan. Otoritas negara pun seakan-akan berlomba-lomba dalam menyusun peraturan perundang-undangan atau pedoman terkait Anti Pencucian Uang, Pencegahan Pendanaan Terorisme, dan Anti Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (“APU PPT dan Anti KKN”). Beberapa otoritas yang terlibat misalnya Otoritas Jasa Keuangan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Bank Indonesia, dan KPK. Hal ini tentunya menyebabkan ada begitu banyak peraturan perundang-undangan mengenai APU PPT dan Anti KKN yang harus dipatuhi. 

Kesulitan selanjutnya hadir dikarenakan peraturan perundang-undangan yang sudah ditetapkan tersebut seringkali diubah dan/atau dicabut yang menyebabkan masyarakat berisiko untuk menerapkan ketentuan yang sudah tidak berlaku dan/atau tidak mengetahui terdapat ketentuan baru yang harus diimplementasikan. Sehingga LJK memiliki tantangan tersendiri untuk mengidentifikasi, memahami, dan mengimplementasikan peraturan perundang-undangan tersebut beserta seluruh perubahannya.

Lebih lanjut, risiko terjadinya TPPU, TPPT, dan KKN pada LJK mungkin dialami oleh fungsi-fungsi yang tidak berlatar belakang hukum. Bahkan saat ini banyak pihak yang dinilai masih belum dapat memahami batasan-batasan tindak pidana korupsi. Sebagai contoh, Pasal 12C Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Tipikor”) mengatur bahwa seorang pegawai negeri atau penyelenggara negara bisa lepas dari jerat pidana akibat gratifikasi apabila penerima gratifikasi melaporkan gratifikasi tersebut kepada KPK. Apabila hal ini tidak dilakukan, sebagaimana diatur dalam Pasal 12B ayat (2) UU Tipikor, maka yang bersangkutan dapat diancam sanksi pidana berupa pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). 

Apabila pegawai LJK tidak dibekali dengan informasi yang cukup, yang bersangkutan bisa saja tidak mengetahui bahwa dirinya telah menerima gratifikasi terlarang dan/atau tidak mengetahui bahwa jika menerima gratifikasi tersebut maka yang bersangkutan harus melaporkannya kepada KPK. Hal tersebut tentunya menjadi risiko yang sangat besar dan menjadi tantangan berikutnya bagi LJK karena ketidakpahaman, ketidaktahuan, dan/atau kesalahan interpretasi pegawai terhadap peraturan perundang-undangan di bidang APU PPT dan Anti KKN dapat menyebabkan timbulnya berbagai risiko bagi LJK, mulai dari risiko reputasi, finansial, kepatuhan, hingga hukum.

Menanggapi kegelisahan LJK di atas, Hukumonline hadir dengan Regulatory Compliance System (“RCS”) yang dapat mempermudah LJK menghindari TPPU, TPPT dan KKN. Disertai dengan database peraturan Hukumonline yang memiliki akses terhadap lebih dari 150.000 (seratus lima puluh ribu) peraturan perundang-undangan, RCS dapat membantu LJK untuk mengidentifikasikan berbagai kewajiban secara cepat dan efisien agar terhindar dari berbagai risiko, utamanya risiko hukum dan ketidakpatuhan. Dengan memanfaatkan Artificial Intelligence dan menyajikan hasil kurasi dari sarjana hukum, RCS mampu mengemas kewajiban tersebut dengan memperhatikan kenyamanan dan kemudahan user sehingga kontennya mudah dipahami bahkan untuk pihak yang tidak memiliki latar belakang hukum. Dengan demikian RCS mampu menekan risiko ketidakpatuhan dan hukum sehingga LJK dapat lebih fokus dalam menjalankan bisnisnya.

Dapatkan secara langsung manfaat RCS dengan mengajukan demo secara gratis di sini untuk merasakan manfaat Regulatory Compliance System.

Kami memahami bisnis dan tantangan Anda.
Dapatkan solusi terbaik bagi kepatuhan hukum perusahaan Anda sekarang.
Hubungi Kami
whatsapp contact