pexels-jadeline-abba-5147453.jpg
oleh Hening Sukma Daini

Lahirnya KUHP Baru dan Dampaknya bagi Korporasi

Kelahiran KUHP Baru nyatanya menimbulkan dampak yang signifikan bagi korporasi atau pelaku usaha.

Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI) atau yang kemudian dikenal sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) diberlakukan pertama kali di Indonesia pada 1918. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 1945, sebagaimana diamanatkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, WvSNI tetap diberlakukan guna mengisi kekosongan hukum yang terjadi.

WvSNI kemudian ditetapkan menjadi kodifikasi hukum pidana di Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Indonesia. Melalui peraturan tersebut kemudian dijelaskan bahwa nama WvSNI diubah menjadi Wetboek van Strafrecht dan dapat disebut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Kini setelah lebih dari 70 tahun merdeka, Indonesia akhirnya sah memiliki Kitab Undang-Undang Hukum Pidana baru, meninggalkan KUHP lama bagian dari warisan kolonial Belanda. Undang-Undang No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang terdiri dari 2 Buku, 37 bab, dan 624 Pasal dan disahkan pada 2 Januari 2023 (ā€œKUHP Baruā€). KUHP baru ini akan berlaku efektif 3 tahun sejak diundangkan.

Salah satu aspek yang menarik untuk dicermati dalam KUHP Baru adalah soal subjek hukum. Sebelumnya, KUHP lama hanya mengenal manusia (natural person) sebagai subjek hukum pidana; dan kini KUHP baru menyatakan korporasi sebagai subjek hukum pidana. Terlepas keberadaan korporasi dalam tindak pidana sebetulnya telah dikenal dalam beberapa peraturan perundang-undangan, namun penulis tetap menilai hal ini sebagai sesuatu yang menarik untuk dicermati mengingat KUHP Baru memberi afirmasi yang jelas bahwa korporasi merupakan subjek hukum yang dapat diminta pertanggungjawabannya ketika melakukan tindak pidana. 

Perlu diketahui pula bahwa definisi korporasi di sini ialah baik yang berupa badan hukum maupun bukan badan hukum. Termasuk di dalamnya Perseroan Terbatas, Yayasan, Koperasi, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, serta badan usaha seperti Firma, Persekutuan Komanditer, atau yang disamakan dengan itu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

Dalam pengamatan menulis, terdapat beberapa bentuk tindak pidana yang dapat kita temui berdasarkan KUHP Baru yang dapat diminta pertanggungjawabannya pada korporasi, misalnya seperti tindak pidana pembukaan rahasia, penggelapan, perbuatan curang, dll.

Dengan ditetapkannya korporasi sebagai pelaku tindak pidana dalam KUHP baru, maka menjadi penting tentunya bagi pelaku usaha dalam menyikapi persoalan atas tindak pidana korporasi demi menjaga kelancaran usaha serta sebagai bentuk upaya preventif atas risiko-risiko hukum yang dapat lahir dari pelanggaran terhadap KUHP Baru. Oleh karena itu, penting bagi korporasi untuk meningkatkan kesadaran akan kepatuhan atas kodifikasi hukum pidana terbaru di Indonesia utamanya dalam kurun waktu 3 tahun sebelum KUHP baru betul-betul efektif berlaku. 

Selain itu, mempertimbangkan banyaknya jumlah ketentuan KUHP Baru yang mencapai 624 pasal,  tidak dapat dipungkiri bahwa muncul isu di mana tidak semua perusahaan memiliki tim legal yang memadai untuk melakukan analisis terhadap risiko-risiko hukum yang dapat timbul atas terbitnya KUHP Baru. 

 

Regulatory Compliance System Solusi Mutakhir bagi Pemantauan Hukum Perusahaan 

Sebagai legal tech company yang telah berkiprah selama lebih dari 20 tahun di Indonesia, Hukumonline menawarkan Regulatory Compliance System (RCS) sebagai solusi praktis berbasis web untuk pemenuhan kepatuhan hukum korporasi tersistematis. Hingga tahun 2023, RCS telah dipercaya oleh banyak perusahaan dari berbagai sektor industri mulai dari BUMN, hingga perusahaan multinasional.

Berbekal pada pengalaman lebih dari 20 tahun serta komitmen untuk terus berinovasi dan berkontribusi dalam peningkatan literasi hukum di tanah air, RCS dapat menjadi jawaban bagi korporasi untuk mengatasi isu seperti kesulitan dalam memantau banyaknya jumlah pembaruan peraturan perundang-undangan di tanah air serta pemenuhan kepatuhan hukum perusahaan itu sendiri. 

KUHP Baru hanyalah salah satu contoh dari sekian banyak produk hukum yang menghadirkan kompleksitas ketentuan hukum bagi perusahaan. Maka dari itu, kami meyakini pemanfaatan RCS bisa menjadi solusi yang tepat untuk menjawab kebutuhan kepatuhan hukum korporasi saat ini. Secara singkat, berikut kemudahan-kemudahan yang ditawarkan RCS. 

Pemantauan Kewajiban Hukum Cukup dalam Satu Platform 

Sistem kepatuhan yang ditawarkan RCS mampu memetakan kewajiban dan sanksi secara sistematis sehingga diharapkan dapat memudahkan perusahaan untuk dapat mengetahui setiap potensi risiko hukum dari peraturan-peraturan yang berdampak pada bisnis usahanya. 

RCS mampu menganalisis dan mengekstraksi setiap kewajiban hukum terkait izin lingkungan, baik berdasarkan UU PPLH dan perubahannya dalam Perppu Cipta Kerja, PP 22/2021, hingga Permen KLHK 18/2021

intuitive_dashboard_home.webp

 

Selalu Ter-update dengan Perubahan Peraturan 

Dengan teknologi RCS, pelaku usaha dapat dengan mudah memantau tingkat kepatuhan hukum perusahaan secara terkini atau real-time sehingga dapat meningkatkan level kepatuhan hukum.

automatic_content_home.webp

 

Proses Audit Kepatuhan Perusahaan Lebih Efisien 

Penyusunan aspek kepatuhan hukum secara sistematis dan komprehensif dalam RCS juga menjadi poin tambahan bagi pengguna dalam mempermudah melakukan audit.

 

compliance_monitor_home.webp

Dengan keunggulan-keunggulan yang ditawarkan oleh RCS, korporasi tidak lagi perlu mengkhawatirkan kompleksitas ketentuan hukum bagi perusahaan serta risiko-risiko hukum yang mengintai sehubungan dengan tidak terpenuhinya kewajiban hukum. 

Tunggu apalagi? Coba sendiri manfaat dari RCS sekarang. Dapatkan informasi lebih lanjut terkait Regulatory Compliance System dan request demo gratis dengan klik di sini.
 

Kami memahami bisnis dan tantangan Anda.
Dapatkan solusi terbaik bagi kepatuhan hukum perusahaan Anda sekarang.
Hubungi Kami
whatsapp contact